Tak dominannya suara Gerindra diprediksi akan jadi tantangan yang membuat pemerintahan Prabowo tak serta-merta mulus.
Prabowo Subianto, yang ditetapkan sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilihan Presiden 2024, bersama pimpinan Koalisi Indonesia Maju dalam jumpa pers di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta, Rabu (20/3/2024) malam. Prabowo mengajak masyarakat kembali bersatu, rukun, dan bekerja sama.
Perjalanan panjang Prabowo Subianto untuk menduduki kursi RI 1 akhirnya tiba di tujuan setelah 20 tahun.
Setelah empat kali mengikuti pemilihan presiden, Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat tahun 1998 itu menjadi presiden terpilih seusai memenangi Pemilihan Presiden 2024 dalam satu putaran. Meski mendapatkan dukungan dari mayoritas pemilih, pemerintahan yang ia pimpin diprediksi tak serta-merta berjalan mulus. Orkestrasi kekuatan politik diprediksi akan menjadi tantangan terberat lantaran partai-partai politik pengusungnya tak mendapatkan suara dominan.
Kemenangan itu diraih Prabowo dengan tidak mudah. Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra itu sudah mengikuti pilpres sejak 2009.
Pada pertarungan pertama, Prabowo menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Namun, pasangan Megawati-Prabowo kalah dari calon presiden (capres) petahana Susilo Bambang Yudhoyono yang berduet dengan ekonom Boediono.
Baca juga:
> Hasil Pemilu 2024: Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran
> Hasil Pemilu 2024: PDI-P Menang, Ambisi “Hattrick” Terpenuhi
Pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana capres-cawapres Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo mengatakan, dirinya telah bertekad untuk menyerahkan dirinya kepada bangsa dan negara. Oleh karena itu, kekalahan pada dua kali pilpres tidak jadi penghalang bagi dirinya untuk kembali mencoba menjadi pemimpin negara.
Pada Pilpres 2019, ia yang berpasangan dengan sesama kader Gerindra sekaligus mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, kembali bertarung untuk menghadapi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Berbeda dengan Pilpres 2014, pasangan Prabowo-Sandiaga tak diusung oleh koalisi yang memiliki jumlah kursi dominan di parlemen. Mereka berhadapan dengan capres petahana Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, serta didukung 10 partai politik (parpol), salah satunya PDI-P yang merupakan pemenang Pemilu 2014. Dalam pertarungan tersebut, Prabowo kembali kalah, tetapi pendukungnya tak memercayai hasil pilpres. Bahkan, Pilpres 2019 berdampak perpecahan di akar rumput karena pilihan politik.
Untuk mengakhiri perpecahan tersebut, Prabowo dan Jokowi sepakat untuk melakukan rekonsiliasi. Bahkan, Prabowo bersedia untuk menjadi bagian dari pemerintahan sebagai Menteri Pertahanan. Partai Gerindra pun menjadi salah satu parpol koalisi pemerintah.
Baca juga: Jual Nama Presiden Jokowi, PSI Tetap Tak Lolos ke Parlemen
Presiden Joko Widodo saat bertemu rival politiknya di Pemilihan Presiden 2019, Prabowo Subianto, di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019).
Jelang Pilpres 2024, saat mengadakan makan siang bersama dengan awak media di sebuah restoran di Kemang, Jakarta Selatan, akhir Juni 2023, Prabowo mengaku belajar banyak soal politik dari Jokowi. Meski seorang mantan jenderal, ia tak lagi malu-malu untuk belajar dari mantan Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta itu karena sudah dua kali berturut-turut dikalahkan.
”Makanya, itulah jangan malu-malu belajar dari orang Solo,” tutur Prabowo (Kompas, 26/6/2023).
Belajar dari Jokowi yang dimaksud Prabowo salah satunya diimplementasikan melalui visi keberlanjutan yang ia usung saat mengikuti Pilpres 2024. Prabowo berkomitmen untuk melanjutkan seluruh program pemerintahan saat ini untuk menggaet suara dari para pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019.
Tak hanya itu, Prabowo juga menjadikan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta, yang tidak lain merupakan putra sulung Jokowi, sebagai pendampingnya.
Baca juga: Prabowo Buka Bersama Elite, Belum Ada Pembahasan Kabinet Baru
Ikhtiar keempat Prabowo untuk mengikuti pilpres memang telah mengantarkannya pada dukungan mayoritas pemilih. Akan tetapi, hasil itu tidak sejalan dengan perolehan suara parpol-parpol pengusungnya pada Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2024.
Alih-alih dimenangi parpol pengusung Prabowo-Gibran, perolehan suara terbesar justru diraih PDI-P, berdasarkan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU, Rabu (20/3/2024) malam. Adapun Gerindra, parpol asal Prabowo, menempati posisi ketiga setelah PDI-P dan Partai Golkar. Dengan perolehan suara itu, apalagi terpaut cukup jauh dengan suara PDI-P dan Golkar, sangat kecil kemungkinan Gerindra memperoleh kursi ketua DPR.
Mengacu Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, kursi ketua DPR merupakan hak dari parpol yang memiliki kursi terbanyak di DPR.
Selain itu, akumulasi jumlah suara (dan kemungkinan kursi di DPR) yang didapatkan parpol-parpol pengusung Prabowo (Partai Golkar, Gerindra, Partai Amanat Nasional atau PAN, Partai Demokrat) juga relatif imbang dibandingkan akumulasi parpol pengusung kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, dan Partai Keadilan Sejahtera atau PKS), serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD (PDI-P).
Di tengah peta perolehan suara tersebut, Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mengakui, pihaknya berkomunikasi dengan parpol-parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk berkoalisi mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari sejumlah pembicaraan yang sudah terjadi, memang belum ada keputusan yang disampaikan elite parpol dimaksud. Akan tetapi, Muzani mengklaim bahwa gayung bersambut.
”Ada isyarat, pernyataan, keputusan (dari komunikasi dengan parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud). Semuanya bisa kita tangkap isyaratnya bagus, pernyataannya bagus, keputusannya insya Allah menuju kebersamaan yang bagus,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Semuanya bisa kita tangkap isyaratnya bagus, pernyataannya bagus, keputusannya insya Allah menuju kebersamaan yang bagus. (Ahmad Muzani)
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, tidak dominannya perolehan suara Gerindra bakal menjadi satu tantangan terbesar yang bisa membuat perjalanan pemerintahan Prabowo tidak berjalan mulus. Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan di internal koalisi akan berat, terutama ketika terjadi pembagian peran dan nominasi menteri di kabinet.
Ia menambahkan, kuatnya asosiasi Prabowo-Gibran dengan Presiden Jokowi juga berpotensi memunculkan persoalan dalam menegosiasikan kepentingan politik Jokowi dan peran Gibran dalam pemerintahan.
Baca juga: Jokowi Diusulkan Pimpin Golkar, Ujian Sejarah Demokratisasi Partai Beringin
Arya Fernandes
Meski sejak awal Prabowo kerap mengklaim bahwa dirinya merupakan bagian dari ”Tim Jokowi” dan akan melanjutkan program pemerintahan saat ini, setiap presiden terpilih cenderung akan berupaya melepaskan pengaruh pihak luar terhadap kekuasaannya.
”Bagaimanapun, tentu presiden terpilih akan menghindari munculnya matahari kembar dalam pemerintahan ke depan,” tutur Arya,
Di parlemen, Gerindra tidak bisa mengamankan posisi ketua DPR karena bukan parpol pemenang pemilu. Akumulasi jumlah kursi partai pengusung Prabowo-Gibran juga tak dominan dibandingkan gabungan parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. ”Diperkirakan, komposisi partai oposisi (di periode pemerintahan Prabowo) akan lebih besar dibandingkan periode pemerintahan Jokowi,” kata Arya.
Berkaca dari dua periode pemerintahan Jokowi, dominasi parpol pengusung di parlemen menjadi salah satu kunci mulusnya berbagai program pemerintah. Pada 2014, Jokowi yang menang pilpres, tetapi tidak didukung mayoritas fraksi parpol di parlemen, menghadapi kendala karena DPR dibuat lumpuh tidak bekerja selama beberapa hari. Pemerintahan baru berjalan kembali setelah Jokowi mengakomodasi kepentingan politik sekaligus merangkul sejumlah parpol kubu Prabowo ke koalisi pemerintahan.
Baca juga: Wacana Koalisi Permanen Kubu Prabowo untuk Pilkada Dinilai Sulit Terwujud
Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, bersama pimpinan Koalisi Indonesia Maju menggelar jumpa pers seusai keputusan KPU soal rekapitulasi hasil perolehan suara tingkat nasional di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).
Oleh karena itu, pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi mengakomodasi hampir seluruh kelompok, termasuk lawan politiknya, sejak awal. Dengan politik akomodasi itu, penguasaan kursi koalisi pemerintah di parlemen mencapai lebih dari 80 persen.
Di tengah konteks tersebut, Arya menduga, kemungkinan besar Prabowo juga akan menerapkan politik akomodasi sebagaimana diterapkan Jokowi. Akan tetapi, pilihan tersebut tidak mudah dan bakal berisiko besar. ”Meskipun akan ada upaya dari Prabowo untuk menarik partai-partai dari koalisi 1 dan 3 (untuk masuk pemerintahan), biaya politik yang dikeluarkan untuk itu akan mahal dan akan memengaruhi hubungan di internal partai-partai koalisi,” kata Arya.
Baca juga: Risiko Tiga Matahari Kembar jika Jokowi Pimpin Koalisi Besar
Lebih dari itu, menurut dia, Prabowo juga dinilai sulit untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sipil. Pada penyelenggaraan Pilpres 2024, kekecewaan dan protes dari masyarakat sipil terhadap jalannya demokrasi kian hari kian meningkat. Dengan demikian, kontrol masyarakat sipil terhadap pemerintahan baru diprediksi akan jauh lebih besar.
Lantas, bagaimana Prabowo bersama pasangannya, Gibran, bakal menghadapi sejumlah tantangan tersebut? Akankah Prabowo membiarkan banyak hal mendistraksi akhir penantiannya setelah 20 tahun?